Mengapa Kita harus Kaya ?


Mengapa Kita Harus Kaya ?

Jawaban simpelnya adalah karena privilege.

Jawaban panjang nya ada 15 poin dibawah, yuk dibaca :
Privilege atau hak istimewa ini lazimnya dimiliki oleh orang yang memiliki taraf ekonomi dan / atau 'tampang' yang di atas rata-rata. Orang yang cantik / ganteng apalagi dengan bentuk tubuh yang bagus juga memiliki privilege. Namanya beauty privilege. Tetapi, karena kita membahas dari aspek ekonominya, ya maka saya takkan membahas beauty privilege lebih lanjut.

Secara sederhana, privilege yang dimiliki oleh orang kaya termanifestasi dalam dua bentuk, yaitu kesempatan dan pilihan. Ini hanya secara sederhananya saja yah, bukan pembahasan yang susah-susah.

(1.) Makanan

Bedanya orang miskin dan orang kaya adalah, orang kaya itu bingung nanti mau makan apa sedangkan orang miskin itu bingung nanti bisa makan atau tidak. Sama-sama bingung dengan topik yang sama (makanan), tapi esensinya beda.

Jadi orang miskin itu sedih, mau makan saja susah. Waktu kuliah dulu, pernah suatu kali wesel (itu loh, sejenis cek yang bisa diuangkan di kantor pos) yang biasanya saya terima setiap bulan ternyata tidak datang. Padahal orangtua saya sudah kirim, tapi tidak sampai. Entah terselip, hilang, atau dicuri. Orangtua saya sudah tidak bisa mengirim uang lagi, itu saja mereka sudah setengah mati mengumpulkan dan mengirim uang walau tak cukup untuk biaya hidup saya yang sudah minimalis.

Yasudalah, mau menangis atau marah juga tak menyelesaikan masalah. Subuh-subuh saya ke pasar induk, menyapu beras yang terjatuh di sana. Mengambil apa saja yang sekiranya bisa dimakan, sayur dan buah. Hari kedua saya di sana, saya 'ketahuan' sama anak juragan toko beras yang ternyata teman satu kampus. Saya sudah tidak merasa malu lagi, tapi saya ingat saya hanya menunduk, yang nangis malah teman saya itu. Singkat kata, kebutuhan beras saya dijamin sama bapaknya teman saya selama 3 bulan, saya boleh ambil sebanyak yang saya butuh, plus dikasih Rp 50 ribu, jumlah yang sangat besar waktu itu. Itupun saya hanya mengambil beras 5 kg sekali saja, karena toh bulan depannya wesel [akan] datang lagi.

Ya walaupun akhirnya saya menerima bantuan yang tetap harus disukuri dan tidak akan saya lupakan, tetapi begitulah intinya. Bagi orang miskin, untuk makan saja butuh perjuangan, sementara bagi orang kaya kalau mau makan ya sudah tinggal makan atau pesan, gitu aja koq repot.

(2.) Gizi

Ya masalah gizi ini masih berhubungan dengan makanan juga. Makanan 'berkualitas' mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Orang kaya yang tahu akan gizi, akan memilih makanan yang memiliki nutrisi untuk tubuhnya, sedangkan orang kaya yang tidak tahu gizi akan beli makanan untuk di-posting di Instagram. Tapi, yang manapun itu, orang kaya memiliki pilihan. Orang miskin tidak memiliki banyak pilihan.

Banyak cerita di mana orang miskin harus makan sehari sekali, bahkan sekali setiap dua hari. Juga, ada yang mengumpulkan nasi sisa untuk dijemur, dijadikan nasi aking. Yang hidup di kampung mungkin akan mengumpulkan bahan makanan yang dapat ditemui di sekitarnya, misalnya siput atau jamur. Tak jarang, jamur yang dimakan ternyata beracun. Di beberapa tempat yang lebih menyedihkan seperti Korea Utara dan Myanmar, bahkan penduduk miskin makan katak, siput, bahkan tikus. Di Filipina, sisa-sisa makanan dari restoran cepat saji akan dikumpulkan dan 'didaur-ulang'. Ada kemungkinan di beberapa tempat di Indonesia juga melakukan hal yang sama, hanya saja tidak terliput oleh media.

Jika ini masih belum terlihat menyedihkan, di Afrika, di mana tidak terdapat apa-apa, orang miskin akan membuat makanan dari tanah. Ya, anda tidak salah baca…. dari tanah.

Saking Miskinnya, Orang Haiti Terpaksa Makan Kue Tanah - Portal Jember

Orang miskin untuk hanya sekedar makan (yang merupakan kebutuhan paling dasar setelah bernafas dan minum) saja masih sulit. Jadi miskin itu sangat menyedihkan. Dengan kondisi seperti itu, bagaimana bisa kebutuhan gizi tercukupi?

Tak heran, banyak orang miskin menderita penyakit yang aneh-aneh, karena kurangnya nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Di Indonesia, orang yang miskin cenderung makan karbohidrat dalam jumlah banyak. Ini juga tidak bagus, apalagi bagi ibu hamil, karena pembentukkan sel-sel tubuh dari janin membutuhkan nutrisi beragam, tak hanya karbohidrat saja. Otak membutuhkan protein untuk pembentukan sel otak, neuron sel, dan sebagainya. Tanpa protein yang cukup, ya kemampuan otaknya menjadi kurang. Ya, akibatnya orang miskin itu lebih sulit untuk menjadi pintar.

Di sisi lain, pertumbuhan tubuh orang yang miskin itu lebih lambat karena kurangnya nutrisi. Akibatnya, ya tinggi badannya ya kurang. Orang kaya itu secara statistik badannya lebih tinggi, karena kebutuhan nutrisinya tercukupi. Ya memang masalah tinggi badan ini melibatkan banyak faktor, seperti genetik, aktivitas fisik, dll. Bagaimanapun, secara statistik ya begitulah adanya. Nah, ini belum termasuk cerita ketika memasuki masa senja.

Contohnya artis Laila Sari masuk dunia hiburan pada tahun 1950 (usia 15), dan Titiek Puspa juga masuk dunia hiburan pada 1952 (juga usia 15 saat itu). Terlepas bagaimana perbedaan cara mereka mengelola keuangan, singkat kata yang satu menjadi miskin sedangkan yang satu masih punya uang lebih dari cukup hingga kini.

Alm. Laila Sari tutup usia pada tahun 2017, sedangkan Titiek Puspa masih hidup, sehat, dan terawat. Bisa terlihat kan, bagaimana perbedaan keduanya? Inilah sedihnya menjadi miskin.

(3.) Kemampuan Akademik

Nah, orang yang kaya memiliki kemampuan lebih dalam mencukupi kebutuhan nutrisi dirinya dan keluarganya. Sehingga, ya ini akan mempengaruhi kapasitas otak. Terlepas dari apakah otaknya [akan] dipakai atau tidak, ya minimal secara kapasitas sudah berbeda.

Juga, anak-anak orang kaya akan dimasukkan ke sekolah terbaik, di mana guru-guru terpintar mengajar di situ. Anaknya dirasa kurang pintar? Mereka bisa mendatangkan guru les dengan kemampuan terbaik untuk mengajari putra-putri mereka. Anaknya suka atau tidak suka, ya paling tidak orangtua yang kaya memiliki kemampuan untuk 'mendatangkan' resource terbaik demi perkembangan anak-anaknya.

Penelitian di Amerika mengungkapkan bahwa anak-anak orang kaya memiliki rata-rata skor lebih tinggi daripada anak orang miskin dalam suatu standardized test. Di AS sendiri, penelitiannya memang hanya terbatas pada skor SAT (untuk masuk Perguruan Tinggi), tetapi saya rasa ini berlaku umum untuk standardized test lainnya seperti TOEFL, IELTS, bahkan JLPT.

Rich students get better SAT scores—here's why

Alasannya? Banyak sekali. Orang kaya bisa membeli bahan belajar (resource) lebih banyak, mendatangkan pengajar, dan jika gagal ujian mereka bisa ujian lagi (repetisi). Orang miskin tentunya terkendala dengan hal-hal tersebut di atas. Saya ingat ketika akan mengikuti TOEFL ETS untuk melamar beasiswa di luar negeri, melihat biayanya saja nyali saya sudah ciut. Jika gagal, maka uang jutaan akan melayang, lebih baik dipakai beli makanan. Untungnya saya mendapat kesempatan belajar Bahasa Inggris secara cuma-cuma di tempat kerja, ditambah gaji yang waktu itu pelan-pelan merangkak naik. Setelah 5 tahun, barulah saya mengambil tes ETS dan lulus.

Ketika masih kuliah? Jangan ditanya. Saya hampir kena DO karena lulusnya terlalu lama. Ya bukan karena bodoh, tapi tiap semester hanya 'berani' ambil 14 – 16 SKS ya kapan lulusnya, bos? Untungnya bisa lulus. Teman saya yang secara akademik biasa saja tetapi keuangannya kuat, ya paling lama lulus 5½ tahun.

(4.) Kesempatan Belajar

Anak orang kaya belajar di rumah yang nyaman dan tenang, yang seringkali dilengkapi AC. Komputer ada, internet lancar, karena paket data yang [nyaris] unlimited. Mau les tinggal bilang orangtua, dipanggilkan guru les.

Anak orang miskin tinggal di rumah yang tidak nyaman. Bisa saja di dekat pembuangan sampah. Belum lagi banyak orang tinggal di situ, sehingga tak ada ruang untuk belajar. Bahkan, tak ada kesempatan untuk belajar. Boro-boro punya kesempatan belajar, seringkali mereka disuruh membantu orangtuanya bekerja. Sampai di rumah, mau belajar tak punya paket data apalagi komputer. Perut lapar, tapi tak ada makanan. Belum lagi kalau atap rumah bocor, semua buku basah semua. Disuruh beli bahan prakarya namun tidak punya uang. Token listrik habis, rumah gelap gulita ketika malam. Bagaimana bisa belajar dengan efektif dengan kondisi seperti ini?

Ketika masih kecil, saya harus bangun pagi jam 5:30, lalu sarapan. Lalu, ibu saya akan naik sepeda membawa keranjang yang isinya kue, sambil membonceng saya ke arah terminal. Sampai di terminal, ibu saya akan naik bus ke pasar lalu jualan. Tugas saya, membawa balik sepedanya dari terminal ke rumah, pada usia 5 atau 6 tahun. Bayangkan saja.

Ketika SD saya tumbuh jadi bocah yang selalu kelaparan, jadi saya suka merampas makanan teman sekelas, bahkan ketika saya kelas 1 SD. Ditambah fisik saya yang di atas rata-rata (ya iyalah, dari umur 5 atau 6 tahun udah bisa bawa sepeda punya orang dewasa sejauh sekian kilometer), teman sekelas saya hanya punya 2 pilihan : menyerahkan makanan ke saya atau benjol. Akibatnya, orangtua saya dipanggil dan saya diancam dikeluarkan dari sekolah. Orangtua saya tentunya sedih, karena hanya itu sekolah yang dekat. Jadi dia usul ke kepala sekolah, yasudah naikkan saja saya ke kelas 2, supaya ketemu murid yang lebih besar badannya. Cara ini tidak berhasil, saya tetap bikin anak sekelas menangis (gag sampai sekelas sih nangisnya, tiap hari saya hanya bikin nangis 1 - 2 anak saja, yang makanannya saya lihat paling enak), jadi orangtua saya dipanggil lagi, dan orangtua saya memberikan saran yang sama lagi. Ibu saya memang pemikir yang luar biasa ; mungkin kelicikan dan strategi ngawur saya adalah produk genetik dari beliau.

Masuk kelas 3 SD, gantian saya yang benjol karena badan kalah besar jadi tangan dan kaki kalah panjang, tapi itu tak berlangsung lama. Walau saya dipukuli (jangkauan tangan mereka lebih panjang), tapi ya mereka juga saya pukuli. Sama-sama benjol jadinya. Untung wali kelasnya cukup bijak, akhirnya diputuskan bahwa tiap hari satu anak disuruh bawa bekal lebih, buat saya makan di sekolah. Bahagianya saya ketika kelas 3 SD dan seterusnya. Tapi berkat itu saya lulus SD 4 tahun, lalu lulus SMP 2 tahun (SMP beda cerita sih), jadi SD - SMP lulus dalam 6 tahun. Orang pikir saya jenius, padahal saya lulus SD - SMP bisa cepat bukan karena pintar, tapi karena brutal. Waktu kuliah saya lulus 7 tahun, ya umurnya akhirnya jadinya balik normal lagi.

Nah, kembali ke masalah sekolah tadi. Orangtua saya miskin, makanya mereka menghendaki agar sekolah saya dekat dari rumah, supaya minim ongkos. Juga, waktu lebih di rumah bisa dimanfaatkan untuk membantu orangtua. Di satu sisi, orang kaya maunya anak bersekolah di sekolah bagus. Ya mungkin kalau masih SD juga memilih sekolah yang dekat, entahlah. Tetapi mulai SMP, mereka akan memasukkan anaknya di sekolah bagus, dengan berbagai alasan.

(5.) Pengembangan Bakat

Nah, ini juga menjadi pembeda yang mencolok. Anak orang miskin, jika beruntung bisa bersekolah, maka akan diarahkan untuk 'sekolah yang bener', supaya bisa bekerja dan dapat gaji bulanan, sukur-sukur keterima PNS. Bagi yang prestasi sekolahnya pas-pasan, ya harapannya adalah masuk TNI / POLRI, ya tapi kalau kepaksa jadi SATPOL PP yasudalah terima saja, setidaknya punya gaji tetap…

Nah, anak orang kaya mau belajar piano, ya dibelikan piano, dicarikan instruktur, dll. Orang miskin belajar piano? Rumah sempit, mau taruh piano di mana? Belum lagi atap bocor. Anak orang kaya menggambar tata-busana? Yasudah, nanti lulus SMA akan disekolahkan di sekolah mode di Perancis atau Italia. Reaksi berbeda akan didapat jika anak tersebut dari keluarga miskin.

Ya, kalau misalnya anda tahu Ahmad Dhani, pemusik berbakat. Ya anda harus cari tahu siapa bapaknya. Bapaknya Ahmad Dhani adalah pejabat era Soeharto. Dengan kekayaannya, ya bapaknya bisa memfasilitasi hasrat Ahmad Dhani untuk mendalami musik.

(6.) Waktu

Percaya atau tidak, orang kaya itu walau terlihat super sibuk tetapi waktu mereka dipergunakan secara efektif. Mau les, gurunya yang datang ke rumah, menempuh 3 jam perjalanan bolak-balik. Mau sekolah, diantar supir. Bapaknya kalau pergi ke kantor juga pakai supir. Di dalam mobil, mereka bisa melakukan apapun. Mengerjakan tugas, makan, membuat slide presentasi, memeriksa pembukuan, bahkan tidur. Lah, kalau orang miskin, yang ke sekolah harus naik bis berdesak-desakan? Kalau tidur, ya bakal kecopetan.

Ada cerita ketika saya akan lulus kuliah, saya melamar kerja. Pergi naik bus, menempuh perjalanan sekian jam. Wawancara jadwalnya jam 10 pagi, saya keluar rumah jam 7 pagi, sampai jam 9:40an. Lalu, saya menunggu. Jam 10, si bos yang harusnya interview belum datang. Jam 11 juga belum datang. Jam 11:30 masih belum datang, saya keluar kantor sebentar beli minum di warung di seberang karena air di botol minum sudah habis. Ketika minum di warung, saya melihat ada mobil masuk sih, lalu saya juga bergegas masuk. Dan apa katanya? Interview gagal karena si bos engga mau menunggu saya. Eh buset, emangnya saya dari jam 9:40 sampai 11:30 ngapain? Ngitungin bulu ketek? Yah, sudalah, hadapi saja, interview saya gagal.

(7.) Mencari / Mendapatkan Beasiswa

Ada juga perbedaan antara orang kaya dan orang miskin dalam mencari beasiswa. Persyaratan beasiswa paling dasar itu biasanya adalah bahasa. Kalau Bahasa Inggris, ya TOEFLS / IELTS harus melewati skor tertentu. Nah, dari sini biaya tesnya sudah jutaan. Biaya tes Bahasa Jepun (JLPT), misalnya, tidaklah terlalu mahal. Masalahnya, kampus di Jepun mensyaratkan level kecakapan minimum di N2 (terkadang N3) yang butuh jam belajar sekitar 800 jam tatap-muka. Tidak mungkin mencapai level N3 dengan cara belajar gratisan.

Belum lagi ada yang mensyaratkan GRE, SAT, atau apalah namanya itu. Biayanya horor. Orang kaya mah, kalau gagal yasudah ambil lagi di kesempatan mendatang. Sudah seperti main game Mario Bros saja, kalau kecemplung masih bisa main lagi. Nah, setelah lulus syarat administrasi dasar, lulus wawancara dll., sebelum keberangkatan akan diminta tes kesehatan lengkap. Fungsi ginjal, fungsi hati, rontgen paru, dll. apa lagi saya lupa. Itu biayanya juga tidak murah. Belum lagi kalau dapat beasiswa ke negara 4 musim, harus beli jaket khusus musim dingin. Beli di luar negeri harganya mahal, kalau beli dan bawa dari Indonesia eh ternyata kaga bisa menahan dinginnya udara winter.

Ohya, saya ada cerita sedikit mengenai cerita beasiswa saya ke luar negeri.


8.) Cara Berhemat

Orang miskin itu cenderung berhemat untuk periode yang pendek, sedangkan orang kaya berhemat lebih ke jangka panjang. Ya misalnya contoh waktu saya kuliah dulu, dikirimin uang melalui wesel pos. Kirim uang dari kantor pos, ambilnya juga di kantor pos [di kota lain]. Biayanya murah, hanya seribu rupiah per transaksi. Sementara teman saya yang punya duit, mereka pakai tabungan dan ATM. Biaya administrasi waktu itu Rp 2500, tidak mahal. Tetapi untuk membuka tabungan di BCA harus ada setoran pertama Rp 50 ribu, dan akan ada saldo minimal yang tak bisa diambil. Masalahnya ya itu, wesel lebih murah tapi resiko wesel hilang atau tidak sampai ke tujuan itu ada. Ya akhirnya orang miskin lebih beresiko kehilangan uang daripada orang kaya.

Nah, begitu juga kalau beli sepatu. Orang miskin beli sepatu Rp 70 ribu tapi rusak dalam 2 - 3 bulan, orang kaya beli sepatu Rp 700 ribu tapi tahan 3 tahun. Orang miskin kredit motor bebek bayar Rp 500 ribu sebulan selama 3 tahun plus DP sejuta, totalnya Rp 19 juta. Padahal, harga kontannya 'hanya' Rp 11 juta. Dan banyak contoh lainnya.

(9.) Investasi

Orang kaya memiliki pilihan sangat banyak dalam investasi : aset kripto, emas, perhiasan, saham, tanah, perkebunan, properti, persewaan alat berat, penggilingan padi / kopi, deposito, obligasi, mobil antik, guci dinasti Ming, dll… ya pokoknya mereka punya pilihan lah. Intinya, uang akan menghasilkan uang.

Ya intinya orang kaya biasanya memiliki kecerdasan finansial, baik disadari atau tidak. Jikalau tidak memiliki pun, mereka masih punya pilihan instrumen untuk investasi.

Sedangkan investasi orang miskin itu ada di kepala : harus pintar, punya skill khusus ; supaya bisa bekerja. Kalau yang kurang beruntung, ya harus menukar waktunya dengan uang, kerja kasar. Harta utama mereka adalah 3 S : sehat, senyum, dan sabar…… walau seringkali hati disakiti dan disemena-menakan.

(9.) Berbisnis

Orang kaya kalau bisnis gagal, ya tinggal minta uang lagi. Itu namanya belajar dari kegagalan, bagian dari proses pembelajaran.

Jadi horang kaya mah enak, duit engga habis-habis…

Orang miskin kalau bisnis gagal ya tamat. Kalaupun ada yang berhasil seperti Rocket Chicken, ya itu adalah outlier. Kadangkala, orang miskin kalau berbisnis, ketika bisnisnya merangkak naik ; maka model bisnisnya bisa ditiru orang kaya juga. Contohnya adalah geprek bensu.

(10.) Ketika Sakit

Nah, kalau orang kaya biasanya punya 'jaring pengaman' seperti asuransi, misalnya. Terkadang, ada yang memiliki 2 - 3 polis asuransi. Tidak ada manusia yang ingin sakit, tetapi jika sakit maka asuransi akan sangat berguna. Juga, seringkali ketika sakit (tidak mampu beraktivitas) pun, arus keuangan masih bisa mendatangkan penghasilan / keuntungan.

Lah, kalau orang miskin sakit? Sukur-sukur punya BPJS, itupun kadang antriannya panjang, dokternya kasar. Ya bukan salah mereka juga sih. Belum lagi kalau tidak bisa kerja, maka akan kehilangan penghasilan, gaji dipotong atau apalah. Terkadang malah bisa di-PHK.

Waktu saya masih mahasiswa [lagi] di Jepun, saya pernah cari tambahan dengan cara jadi pemandu sorak….. eh, maksudnya pemandu wisata…. bahasa kerennya tour guide, gitulah…. kebetulan grup turis yang berkunjung ke Jepun adalah kloter Indonesia. Karena pembawaan saya tenang dan santai, jadi para turis cepat akrab. Lalu, ada bapak-bapak yang mulai 'pdkt' ke saya…. bukan, bukan gay, tapi dia bertanya apakah saya bersedia menjadi penterjemah selama dia ke Jepun, karena dia akan melakukan screening kanker. Di Indonesia memang sudah divonis kanker, hanya saja dia mau minta second opinion dari ahlinya. Menurut hitungan dia, berobat di Jepun masih lebih murah daripada SIngapore. Gatau deh bener apa kagak, ya saya mah ho'oh-ho'oh doang deh. Kebetulan ibukota Perfektur Aichi (Nagoya-shi), memiliki fasilitas riset kanker nomor satu di Jepun. Jadilah saya sanggupi. Juga, karena saya tak bisa 'menemani' setiap waktu, ya saya hubungi PPI Jepun plus perawat Indonesia yang bekerja di Jepun, supaya selalu ada yang 'menemani' orang tersebut, sekalian menjadi penterjemah. Ya singkat kata, pengobatannya sukses.

Sedangkan di suatu tempat, ada orang lain yang miskin dengan keluhan sakit kepala berhari-hari, tiap hari hanya makan Paramex (obat sakit kepala). Seminggu kemudian, orang itu lumpuh. Ternyata sakit kepalanya adalah gejala stroke, yang dia tidak ketahui, karena yang dia tahu dia hanya sakit kepala. Perlu diperhatikan, pengetahuan juga akan bertambah ketika tingkat ekonomi naik. Nah, andaikan orang itu punya duit, seharusnya dia pergi cek darah lah. Biayanya Rp 45 - 75ribu untuk tes darah lengkap (gula darah, asam urat, kolesterol). Andaikan masalahnya terungkap karena kolesterol, ya beli obat lah. Obat kolesterol ada banyak macamnya, mulai dari yang Rp 10 ribu sampai Rp 200ribu. Tapi ya gitulah, tidak memiliki uang itu sedih. Makanya pemerintah menetapkan program BPJS, supaya kualitas hidup bisa naik dulu. Supaya bisa produktif, bisa kerja… eh tapi giliran sudah produktif, dipakai buat demo…. Moral storynya? Yah gitu, orang kaya ketika sakit pun masih memiliki pilihan. Ya emang hidup-mati itu urusan Tuhan, Vanessa Angel juga [udah jadi] orang kaya umurnya pendek. Iya ada benarnya sih, tapi ya pengalaman membuktikan bahwa akhirnya yang memiliki uang lebih mampu 'berusaha lebih'.

(11.) Masalah Stigma

Stigma adalah citra negatif yang menempel pada diri seseorang karena suatu karakteristik atau status yang dimilikinya sebagai akibat dari konstruksi sosial. Tidak usah jauh-jauh deh, kalau ada orang tak dikenal yang tiba-tiba ngajak kamu ngomong, respon kamu kalau yang mengajak bicara adalah orang yang [tampak] miskin akan berbeda dengan respon terhadap orang yang [terlihat] kaya, kan? Ini tidak bisa disalahkan juga sih. Kenapa? Karena stigma.

Makanya kalau ada orang halu atau orang yang ngomongnya 'tinggi sekali' dan tidak mau diremehkan, suka pamer di IG atau WA status, ya karena mungkin dia tidak mau dibilang miskin. Kenapa? Karena orang miskin itu rawan diskriminasi.

Saya ingat ketika saya baru diterima jadi guru di sekolah inter, belum sebulan kerja saya terkena demam berdarah. Orangtua saya yang panik lalu menghubungi temannya, minta tolong agar saya bisa diantar ke RS. Tetapi ditolak, karena miskin. Temannya ibu saya takut kalau saya sekalian minta dibayarin biaya berobat RSnya. Kenapa seperti itu? Stigma orang miskin. Padahal, untungnya di sekolah itu ada asuransi yang bisa dipakai di RS yang ditunjuk, jadi saya tidak keluar uang. Lah, tapi saya kan tidak bisa pergi ke sana sendirian. Ya, singkat kata, ya bisa sampai RS juga sih, dirawat dan sembuh. Namun, yang jadi masalah adalah ketika ada tetangga lain yang terkena demam berdarah juga, orang yang sama yang dimintai tolong oleh orangtua saya malah langsung mengantarkannya ke RS. Dan di situlah momen di mana hati saya merasa sakit. Saya tidak melupakan peristiwa ini, walaupun saya sudah memaafkan orang ybs.


(12.) Resiko Korban Kejahatan

Percaya deh, semakin miskin seseorang maka resiko untuk menjadi korban kejahatan itu semakin besar. Dari misalnya di tempat tinggal yang kontrak sepetak berempat, lalu colong-colongan duit, sampai jadi korban penipuan bahkan korban human traficking. Atau bisa juga menjadi korban kejahatan seksual, misalnya bocil pengemis di lampu merah itu rawan jadi korban sodomi. Ya memang di sekolah internasional termahal pun, ada bocil yang disodomi ; tetapi saya percaya secara jumlah lebih banyak bocil penjual tissue di lampu merah yang kena sodomi daripada bocil di sekolah inter. Ya intinya, ketika menjadi kaya, banyak resiko semacam ini yang bisa dikurangi. Dikurangi loh yah…… bukan ditiadakan….

(13.) Ketika Bangkrut

Ada 3 hal yang lazimnya dimiliki oleh orang kaya yang tak dimiliki oleh orang miskin : pengalaman, pengetahuan, dan relasi. Plus mentalitas, jika ingin ditambahkan menjadi 4 faktor. Orang kaya bisa saja bangkrut. Tetapi ketika mereka bangkrut, maka sebagian besar dari mereka akan bangkit kembali. Ada banyak cerita tentang ini.

Konon Warren Buffett pernah ditanya apa yang akan ia lakukan jika seandainya ia bangkrut. Warren Buffett menjawab, seandainya ia bangkrut, maka hal pertama yang ia lakukan adalah mencari cara menghubungi Bill Gates. Walau saya tak tahu cerita ini benar atau tidak, tetapi secara esensi sangat masuk akal. Orang kaya memiliki lingkaran pertemanan orang kaya lagi. Jika seorang kaya bangkrut, jika reputasinya bagus ya ia bisa meminta bantuan teman-temannya. Katakanlah 80% mungkin menolak, tapi 20% mungkin bersedia membantu, hanya bermodalkan KEPERCAYAAN.

Seandainya harus berjuang sendiri pun, ada kemungkinan yang cukup besar bahwa ia bisa merintis lagi bisnisnya dari bawah, dengan catatan asalkan ia tidak sakit dan tidak gila karena stress. Mengapa? Karena mereka masih memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jalur-jalur koneksi (kenalan) yang bisa mendukungnya. Saya tidak bilang bahwa orang miskin tidak bisa bangkit ketika bisnisnya jatuh, tetapi besar kemungkinan bahwa prosesnya akan lebih panjang dan menyakitkan. Ya bagaimanapun, kalau orang biasa apalagi orang susah mau jadi sukses, prosesnya memang panjang dan menyakitkan.

(14.) Menggerakkan Ekonomi

Orang kaya bisa mempekerjakan orang, memutar roda ekonomi. Orang yang bekerja akan mendapat gaji. Gaji itu akan dipakai membeli berbagai kebutuhan hidup, sehingga efeknya bisa dirasakan banyak pihak (multiplier effect). Orang miskin memberikan uang seribu dua ribu ke pengemis, eh pengemisnya ternyata punya mobil. Ya saya pernah mengalami ini juga, walaupun pengemisnya tidak sampai seekstrem itu ceritanya.

(15.) Mencalonkan Diri Jadi Wakil Rakyat

Eh, yang ini gaperlu dibahas lah yah……….. lagipula nanti saya dituduh pendukung si ini lah, si itu lah…. yasudalah, pokoknya tau sama tau lah yah….

>>>>>>

Masalahnya, saya mengalami banyak hal buruk ketika saya miskin, meskipun banyak juga pelajaran berharga yang hanya bisa didapatkan ketika miskin. Bagaimanapun, setelah begitu banyak hal-hal yang saya alami, saya bisa bilang ya jadi orang miskin itu engga enak. Jadi, ya saya harus berusaha untuk menjadi tidak miskin. Tidak miskin itu bukan berarti kaya juga sih, tapi paling tidak ya tidak miskin lagi. Menjadi orang yang lepas dari kemiskinan artinya kita memiliki 2 hal : kualitas hidup dan pilihan. Semakin tinggi taraf ekonomi seseorang, semakin tinggi kualitas hidup orang itu dan pilihan yang bisa dibuatnya. Itulah alasan saya untuk berusaha dan berjuang. Semoga sharing saya ini bisa memberikan sebuah alasan untuk berjuang demi masa depan.
Mengapa Kita harus Kaya ? Mengapa Kita harus Kaya ? Reviewed by Putra on 2:49:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.